Lompat ke konten

Skin Beaute

Beranda » Sejarah Sepatu Hak Tinggi di Dunia

Sejarah Sepatu Hak Tinggi di Dunia

Sepatu hak tinggi

Sejarah sepatu hak tinggi dimulai di Mesir. Sekitar 3.000 tahun yang lalu, hampir semua orang di Mesir berjalan tanpa alas kaki, kecuali tukang daging.

Mereka memakai sepatu hak tinggi untuk alasan praktis saat bekerja, terutama ketika memotong hewan sehingga darahnya tidak mengenai kaki mereka. Sepatu ini memungkinkan mereka tetap kering dengan berdiri di platform anyaman.

Baca juga: Cara Menghilangkan Bau Keringat pada Pakaian

Sepatu Hak 12 Cm Raja Louis XIV

Sebuah kisah sepatu hak merah milik Raja Louis XIV Prancis. Raja tersebut mengenakan hak setinggi 12 cm yang dihiasi dengan lukisan pertempuran untuk berada di atas dunia.

Hanya bangsawan yang diizinkan memakai hak serupa, tapi tidak boleh lebih tinggi dari miliknya sebagai tanda hormat. Pada tahun 1789, Revolusi Perancis mengubah pandangan terhadap hak tinggi, dianggap sebagai simbol kebangsawanan.

Bahkan Marie-Antoinette memakainya hingga di eksekusi. Sejak saat itu, semboyan “Kebebasan, Kesetaraan, dan Sepatu Datar” muncul di Prancis. Di mana sepatu datar seperti ballerina dianggap lebih egaliter dan menjadi pilihan umum.

Baca juga: Tips Memilih Sepatu untuk Hindari Sakit Punggung

Sepatu Hak di Venesia

Di Venesia, kaum bangsawan wanita gemar mengenakan “chopines,” sepatu berplatform kayu yang bisa mencapai tinggi hingga 60 cm.

Sebagai simbol kekuasaan dan kekayaan, sepatu hak tinggi dipakai saat prosesi untuk menarik perhatian. Catherine de Médicis mempopulerkan gaya ini di Prancis.

Merasa kompleks dengan tinggi badannya yang pendek, ia memesan sepatu berplatform untuk pernikahannya dengan Duke of Orléans pada tahun 1533. Meskipun demikian, tinggi haknya tetap wajar, tidak melebihi 5 cm.

Baca juga: Cara Menjaga Kesehatan Kaki untuk Anak-anak dan Dewasa

Les Talons di Paris

Talon kembali menjadi tren di Perancis sekitar tahun 1850, terutama di rumah bordil. Pria menyukai wanita dengan betis yang indah.

Sepatu bot cantik ini kemudian diekspor ke Amerika Serikat pada akhir abad ketika seorang pelacur Prancis menetap di sebuah bordil di New Orleans. Sukses besar, sepatu ini akhirnya diadopsi oleh wanita di luar lingkungan prostitusi.

Simone de Beauvoir Melawan Talon Aiguille

Pada tahun 1950-an, para pembuat sepatu mengambil keuntungan dari kemajuan industri untuk bereksperimen dengan desain sepatu. Bahan baru seperti kuningan dan kaca yang tidak mudah pecah memungkinkan pembuatan hak “aiguilles” (jarum) yang tinggi dan kokoh.

Roger Vivier, perancang busana Prancis, bahkan melibatkan perusahaan teknik aeronautika untuk merancang stiletto (dari bahasa Italia yang berarti “dagger”) setinggi 18 cm.

Meskipun erotis dan lucu, talon aiguille menuai kritik dari kaum feminis di era pemberdayaan wanita, termasuk dari Simone de Beauvoir, yang mengutuk alat ini karena “membuat tubuh wanita semakin tidak berdaya.”

Baca juga: Bagaimana Cara Mencuci Wajah tanpa Merusak Kulit?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *